Integritas dan kesederhanaan Muslich Bambang Luqmono (MBL) bukan isapan jempol. Selama bertahun-tahun menjadi hakim, dia selalu naik sepeda onthel ke kantor. Sayang, kepribadian MBL itu bukan selera DPR sehingga MBL gagal jadi hakim agung. Kini MBL mendaftar sebagai hakim konstitusi dari jalur Mahkamah Agung (MA).
Dalam catatan detikcom, Jumat (10/10/2014), kebiasaan MBL naik sepeda onthel dimulai saat kuliah di Yogyakarta. Tidak tanggung-tanggung, jarak antara tempat tinggalnya di Kebumen menuju Yogyakarta dia tempuh dengan naik sepeda onthel.
"Kenapa saya pakai sepeda balap, karena untuk melatih saya sehari-hari agar tidak sombong dan terus harus menunduk. Lagian kalau sudah naik sepeda serasa muda lagi," kata MBL kepada detikcom pada Juli 2014 lalu.
Setelah menjadi sarjana dan diterima sebagai hakim, MBL tidak melupakan kesederhanaan itu. Meski sudah berpindah-pindah di 10 wilayah Indonesia sebagai hakim, dia selalu menggunakan sepeda onthel untuk transportasi ke kantornya. Tiap kali pindah tugas, yang dia cari pertama kali di tempat barunya adalah sepeda onthel karena tidak mungkin membawa-bawa sepeda onthel dari tempat tugas satu ke tempat tugas lainnya.
"Ya tidak mungkin saya bawa semua, yang di Ponorogo saya kasihkan pembantu saya," ujar bapak tiga anak ini yang menjadi ketua majelis hakim yang menjatuhkan hukuman percobaan kepada Nenek Minah yang mencuri kakao atas azas keadilan.
Kini dia memiliki 3 sepeda di rumahnya di Kebumen, Jawa Tengah. Satu di antaranya yaitu sepeda balap merek Bianchi yang sangat ia sayangi. Sebab Bianchi ini merupakan sepeda yang hanya diproduksi terbatas oleh Bianchi dalam edisi ulang tahunnya.
"Di dunia hanya ada 120 sepeda, limited edision dan ini sepeda terakhir Bianchi 1885-2005 saya dapat sepeda yang ke 120," ungkapnya.
Sepeda yang diproduksi terbatas tersebut dibelinya dengan harga Rp 17 juta melalui seorang agen sepeda di Purwokerto. Dengan gaji hakim yang waktu itu sangat pas-pasan, MBL pun harus memutar otak membeli sepeda itu yaitu mencicil selama setahun.
"Dulu inden, karena edisi ulang tahun dan istimewa karena hand made. Harganya Rp 17 juta. Begitu datang langsung ada yang nawar Rp 21 juta. Ya saya nggak mau, namanya senang," tutur dia.
Namun kebiasaan menggunakan sepeda saat menuju pengadilan tidak lagi dilakukannya di Pengadilan Tinggi (PT) Jayapura sebab rumah dinas dan kantornya masih satu komplek.
"Rumah dinas di Jayapura dengan tempat kerja dekat, hanya 50 meter jadi cukup jalan kaki," jelasnya.
Jika hendak bepergian di Jayapura, MBL memilih menggunakan angkutan umum, berdesakan dengan masyarakat. Jika tengah bertugas di Jakarta, MBL lebih memilih berdesak-desakan naik Kopaja bercampur dengan masyarakat umum.
Kesederhanaan sebagai hakim selama puluhan tahun juga membuatnya tidak mampu membeli mobil. Dirinya baru bisa membeli Kijang Innova pasca kenaikan tunjangan hakim awal 2013 lalu. Itu pun diberikan kepada istrinya untuk mempermudah berjualan roti.
Integritasnya juga membuatnya enggan memotong jalan pintas. Hal itu terbukti MBL lebih memilih tetap tinggal di rumah warisan istrinya dan belum bisa mencicil membeli rumah sejak menjadi hakim hingga kini.
Koleganya juga mengenal MBL sebagai hakim yang teguh pendirian dan berani menentang penindasan terstruktur. Hal itu bukan omongan kosong belaka yaitu terbukti saat MBL menolak bergabung dengan Golkar di era Orde Baru. Di mana saat itu seluruh hakim di Indonesia harus bergabung menjadi anggota Golkar tanpa kecuali. Atas penentangan terhadap rezim otoriter itu, MBL harus menerima skorsong bertahun-tahun tidak berhak mengadili perkara satu pun.
Rekam jejak penuh liku dan getir itu membuat Komisi Yudisial (KY) kepincut. KY pun menyodorkan MBL ke DPR untuk disetujui menjadi hakim agung. Sayang, DPR tidak berselera dengan kesederhaan MBL menjadi hakim agung dan mengkadaskannya pada pertengahan September lalu.
Kini, MBL mendaftar sebagai hakim konstitusi dari jalur Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan UUD 1945, MA mempunyai jatah 3 kursi di MK. Lantas, apakah MA juga akan menolak MBL menjadi hakim konstitusi layaknya DPR menolaknya menjadi hakim agung?
Dalam catatan detikcom, Jumat (10/10/2014), kebiasaan MBL naik sepeda onthel dimulai saat kuliah di Yogyakarta. Tidak tanggung-tanggung, jarak antara tempat tinggalnya di Kebumen menuju Yogyakarta dia tempuh dengan naik sepeda onthel.
"Kenapa saya pakai sepeda balap, karena untuk melatih saya sehari-hari agar tidak sombong dan terus harus menunduk. Lagian kalau sudah naik sepeda serasa muda lagi," kata MBL kepada detikcom pada Juli 2014 lalu.
Setelah menjadi sarjana dan diterima sebagai hakim, MBL tidak melupakan kesederhanaan itu. Meski sudah berpindah-pindah di 10 wilayah Indonesia sebagai hakim, dia selalu menggunakan sepeda onthel untuk transportasi ke kantornya. Tiap kali pindah tugas, yang dia cari pertama kali di tempat barunya adalah sepeda onthel karena tidak mungkin membawa-bawa sepeda onthel dari tempat tugas satu ke tempat tugas lainnya.
"Ya tidak mungkin saya bawa semua, yang di Ponorogo saya kasihkan pembantu saya," ujar bapak tiga anak ini yang menjadi ketua majelis hakim yang menjatuhkan hukuman percobaan kepada Nenek Minah yang mencuri kakao atas azas keadilan.
Kini dia memiliki 3 sepeda di rumahnya di Kebumen, Jawa Tengah. Satu di antaranya yaitu sepeda balap merek Bianchi yang sangat ia sayangi. Sebab Bianchi ini merupakan sepeda yang hanya diproduksi terbatas oleh Bianchi dalam edisi ulang tahunnya.
"Di dunia hanya ada 120 sepeda, limited edision dan ini sepeda terakhir Bianchi 1885-2005 saya dapat sepeda yang ke 120," ungkapnya.
Sepeda yang diproduksi terbatas tersebut dibelinya dengan harga Rp 17 juta melalui seorang agen sepeda di Purwokerto. Dengan gaji hakim yang waktu itu sangat pas-pasan, MBL pun harus memutar otak membeli sepeda itu yaitu mencicil selama setahun.
"Dulu inden, karena edisi ulang tahun dan istimewa karena hand made. Harganya Rp 17 juta. Begitu datang langsung ada yang nawar Rp 21 juta. Ya saya nggak mau, namanya senang," tutur dia.
Namun kebiasaan menggunakan sepeda saat menuju pengadilan tidak lagi dilakukannya di Pengadilan Tinggi (PT) Jayapura sebab rumah dinas dan kantornya masih satu komplek.
"Rumah dinas di Jayapura dengan tempat kerja dekat, hanya 50 meter jadi cukup jalan kaki," jelasnya.
Jika hendak bepergian di Jayapura, MBL memilih menggunakan angkutan umum, berdesakan dengan masyarakat. Jika tengah bertugas di Jakarta, MBL lebih memilih berdesak-desakan naik Kopaja bercampur dengan masyarakat umum.
Kesederhanaan sebagai hakim selama puluhan tahun juga membuatnya tidak mampu membeli mobil. Dirinya baru bisa membeli Kijang Innova pasca kenaikan tunjangan hakim awal 2013 lalu. Itu pun diberikan kepada istrinya untuk mempermudah berjualan roti.
Integritasnya juga membuatnya enggan memotong jalan pintas. Hal itu terbukti MBL lebih memilih tetap tinggal di rumah warisan istrinya dan belum bisa mencicil membeli rumah sejak menjadi hakim hingga kini.
Koleganya juga mengenal MBL sebagai hakim yang teguh pendirian dan berani menentang penindasan terstruktur. Hal itu bukan omongan kosong belaka yaitu terbukti saat MBL menolak bergabung dengan Golkar di era Orde Baru. Di mana saat itu seluruh hakim di Indonesia harus bergabung menjadi anggota Golkar tanpa kecuali. Atas penentangan terhadap rezim otoriter itu, MBL harus menerima skorsong bertahun-tahun tidak berhak mengadili perkara satu pun.
Rekam jejak penuh liku dan getir itu membuat Komisi Yudisial (KY) kepincut. KY pun menyodorkan MBL ke DPR untuk disetujui menjadi hakim agung. Sayang, DPR tidak berselera dengan kesederhaan MBL menjadi hakim agung dan mengkadaskannya pada pertengahan September lalu.
Kini, MBL mendaftar sebagai hakim konstitusi dari jalur Mahkamah Agung (MA). Berdasarkan UUD 1945, MA mempunyai jatah 3 kursi di MK. Lantas, apakah MA juga akan menolak MBL menjadi hakim konstitusi layaknya DPR menolaknya menjadi hakim agung?
Ang orihinal na artikulo o pinagkunan makikita dito
No comments:
Post a Comment